Selasa, 26 Maret 2013

Masih Adakah Tempat Untukku?



Aku ingin menjadi keluarga ini, aku ingin menjadi keluarga itu, aku ingin hidup mewah, aku ingin memiliki pendidikan yang tinggi, dan sebagainya. Mungkin inilah yang akan dikatakan seorang anak jika mereka sudah bisa bicara pada saat mereka terlahir kedunia ini. Bahkan mungkin akan berkata begini “aku tidak pernah minta dilahirkan kedunia ini, aku tidak pernah minta hidup di rahim wanita ini”. Itupun jika mereka bisa meminta dan menawar-nawar kepada Sang Pencipta.
Setiap insan diciptakan dengan berbagai macam keadaan hidupnya. Mereka lahir mulai dari yang namanya bayi sampai orang dewasa. Bayi lahir tanpa dosa, tanpa tahu keadaan orang yang melahirkannya maupun keadaan yang lain. Bayi merupakan insan polos yang hanya bisa menangis, menjerit, dan sesekali tersenyum.
Kemudian bayi ini beranjak menjadi seorang anak yang lucu, remaja yang mencari jati diri, bahkan menjelma menjadi orang dewasa yang dihadapkan pada berbagai persoalan. Namun tak sedikit juga yang hanya bisa menghirup udara hanya sesaat karena kematian telah menjemput mereka. Wajar jika mereka meninggal karena sakit. Tapi pedih sekali mendengar dan melihatnya, ketika mereka meninggal karena pembunuhan.
Sekarang ini sedang marak sekali pembunuhan anak, tentunya dengan berbagai motif. Jika pun bukan kematian yang diterima mungkin hal lain yang diterima, seperti perdagangan anak, kekerasan anak, hukuman bagi anak, dan masih banyak lagi. Ada apa sesungguhnya dengan zaman sekarang ini? Anak-anak ini bertanya dimana mereka akan menemukan ketenangan dan kenyamanan?? Masih ada tempat untukku di negeri ini?
Anak yang seharusnya orang tua lindungi malah menjadi objek sasaran kekerasan yang tiada henti. Apapun dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari seorang anak. Entah itu anak orang lain yang tidak dikenal maupun anak kandung sendiri. Semakin kejamnya negeri ini memaksa anak terkadang harus bertindak kurang ajar terhadap orang tua. Rasa hormat itu sekejap mereka singkirkan untuk dapat membela diri sendiri. Bahkan tak jarang sekarang ini banyak anak yang melaporkan orang tua kandung sendiri kepada pihak kepolisian.
Bukan salah anak bertindak demikian. Anak itu insan yang masih mencari-cari pegangan hidupnya. Apabila orang tua nya benar mendidik anak pasti akan menghasilkan anak yang hormat dan bahkan bisa berprestasi. Namun jika didikan orang tua salah jangan heran jika anaknya kemudian membangkang bahkan sampai mengeluarkan kata-kata kasar.
Anak yang terlahir dengan nasib kurang beruntung bahkan harus lebih berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Seperti anak jalanan, anak yang berada di panti asuhan, anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental, dan masih banyak lagi. Tak ada anak yang menginginkan hal demikian. Namun ini kenyataan hidup yang harus mereka jalani. Belum lagi perjuangan yang harus mereka lakukan, kemudian ditambah dengan penderitaan-penderitaan dari pihak lain semakin membuat hidup mereka tersiksa. “Dimana lagi kami harus tinggal? Kemana lagi kami harus mengadu? Apakah negeri ini memang tidak cocok untuk kami hidup?”
Anak adalah calon penentu bangsa ini. Jika begini keadaan anak bangsa kita, lalu akan seperti apa kehidupan negeri ini di masa mendatang? Seperti kata pepatah “Rakyat itu adalah akar, apabila akarnya sehat maka pohonnya pun sehat”. Dan anak merupakan bagian dari rakyat rersebut. Sesungguhnya anak-anak yang demikian lah yang mempunyai prestasi luar biasa dibanding anak pada umumnya. Aset bangsa ini yang sesungguhnya menjadi penentu masa depan. Apakah kami ini kelak yang akan menyengsarakan bangsa atau yang akan memajukan bangsa? Semua jawaban ini tergantung dari bagaimana mereka diperlakukan ketika kecil, dan seperti apa pendidikan yang mereka terima ketika kecil.
Semoga prestasi siswa-siswi saat ini bisa memacu anak-anak yang lain untuk terus berjuang demi kehidupan dan pendidikannya yang lebih cemerlang.
                                                                                                               (Desi Desember)


Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Pendidikan Ganesha Edisi 154 Januari IV 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar